Perkenalkan: Kami Keluarga Berkebutuhan Khusus
- Keluarga Atipikal
- Nov 27, 2019
- 2 min read
Berapa besar kemungkinan untuk memiliki anak berkebutuhan khusus (ABK)?
Kami punya satu anak laki-laki dan satu anak perempuan. Keduanya tergolong anak berkebutuhan khusus (ABK). Ternyata kami tidak sendiri. Terapis dan guru sekolah anak-anak juga bilang bahwa jumlah ABK semakin bertambah. Entah karena jumlah mereka memang semakin banyak, dan atau karena proses screening dan deteksi yang semakin dini.
Bagi kami, awalnya dari psikotes untuk mengetahui minat-bakat. Guru TK sudah mencurigai bahwa putra kami agak "unik". Karena gaya bicara yang seperti orang dewasa dan memiliki ketertarikan yang terlalu spesifik. Putra kami bisa mengenali segala jenis mobil hanya dari bentuk lampu belakangnya. Meskipun mobil itu sedang melaju kencang di malam hari. Dia bisa menyebut merek, tipe, hingga tahun keluarannya.
Putri kami lebih misterius. Ia belum "bicara" hingga usia tiga tahun. Hanya mengeluarkan suara-suara dan bahasa yang tidak dimengerti. Semua milestone perkembangan motoriknya masih sesuai target. Awalnya kami pikir ini lumrah. Kakaknya cerewet sekali, terutama kalau sudah mengoceh soal mobil. Dan kami senang meladeni semua ketertarikannya, kecuali kalau sudah terlalu detil. Mungkin adiknya yang perempuan ini juga senang mendengarkan kakaknya. Semua gen bicara diambil sama kakak, dan mungkin itu wajar. Barangkali setelah masuk TK, dia akan lebih terpicu untuk bicara dengan teman-teman sebayanya.
Ternyata tidak.
Mulai ada perasaan bahwa keunikan anak-anak lebih mirip "masalah". Terutama kalau salah satu dari mereka tantrum atau meltdown. Kami merasa anak-anak ini tidak bisa diperlakukan seperti anak-anak biasa. Dan kami bingung harus bagaimana, bertanya ke siapa, dan sebagainya. Maka kami mengunjungi biro psikologi. Kami pikir masalah bisa cepat selesai. Kami salah lagi. ABK bukan seperti sakit flu atau demam. Kondisi putra-putri kami kemungkinan akan menetap seumur hidup.
Tidak cukup dengan mendatangi satu psikolog. Benar adanya bahwa butuh satu desa untuk membesarkan satu anak. Kami punya dua ABK. Jelas butuh lebih banyak bantuan. Dari situ, ternyata kami perlu pertolongan psikiater, dokter, terapis, guru, kepala sekolah, baca buku teks, dan jurnal ilmiah. Tidak jarang ada informasi yang saling bertentangan antara nasehat yang satu dengan lainnya, atau antara teori dengan prakteknya. Sesekali kami ketemu jalan buntu dan putus asa - ini menyangkut perbedaan budaya, sistem pendidikan yang belum inklusif, administrasi JKN yang berbelit, atau minimnya riset di Indonesia.
Untuk itu kami tulis pengalaman kami. Senang kalau bisa berjejaring dengan keluarga-keluarga berkebutuhan khusus lainnya dan bisa saling membantu. Kami akan coba posting setiap dua minggu. Kalau kondisi rumah terlalu chaotic, kami akan share gambaran kehidupan kami sehari-hari yang dikemas dalam vignette humor yang ringan.

Comments