Perjalanan panjang melakukan diagnosa
- Keluarga Atipikal
- Dec 3, 2019
- 2 min read
Ketika tahu ada yang tidak biasa, kami langsung cek dengan ahlinya. Tapi proses mencari tahu apa yang "salah" secara mental ternyata tidak sederhana.
Kami pikir prosesnya simpel: datang ke psikolog atau psikiater, lalu di tes, ngobrol-ngobrol, keluar diagnosa, terapi, kemudian masalah selesai. Rangkaiannya memang begitu, tetapi setiap tahapan bisa berupa beberapa kunjungan. Keliru sedikit di salah satu tahapan bisa berarti mengulang proses dari awal. Kalau diagnosa tidak tepat, maka intervensi untuk anak juga bisa keliru. Itu yang kami alami selama ini.
Sudah beberapa tempat praktek dan terapi didatangi, selalu ada variasi. Antara ahli yang satu bisa saling menertawakan diagnosa yang dibuat ahli lainnya. Sehingga regimen terapi harus diubah. Tanpa harus bercerita apa diagnosa putra-putri kami dan tempat-tempatnya, secara umum ada beberapa hal penyebab kurang tepatnya diagnosa.
1. Informasi yang kurang lengkap
Ahli melakukan diagnosa lewat wawancara dengan anak atau dengan orang tua. Tentu ini sulit ketika putri kami belum bisa berkomunikasi dengan lancar. Tidak semua pertanyaan juga bisa orang tua jawab karena bias akibat tidak ingat detil perkembangan anak. Di Posyandu, Kartu Menuju Sehat (KMS) hanya untuk mencatat berat badan, panjang/tinggi dan vaksinasi. Sementara ahli perkembangan akan banyak bertanya pada orang tua tentang kapan mulai berjalan, bersuara, mengangkat kepala, balik badan ketika tidur, dsb.
2. Jam terbang ahli perkembangan
Kurang pengalaman bisa menimbulkan eror dalam melakukan analisis. Coba cek berapa banyak pasien yang ditangani oleh ahli tersebut. Ahli yang sering menghadapi anak dengan autisme akan lebih mudah mendeteksi mereka karena ia lebih familiar . Pengalaman saja tidak cukup. Akan lebih baik bila si ahli juga terus belajar. Kami memilih ahli yang masih melakukan riset dan tidak jarang kami membahas jurnal terbaru. karena buku kitab diagnosa (ICD, DSM, PPDGJ) terus direvisi. Diagnosa bisa berubah seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan atau perkembangan anak itu sendiri.
3. Denial orang tua
Ini faktor yang paling kami rasa paling berpengaruh. Ada proses denialketika mendapat kabar buruk dan memutuskan untuk tidak datang mencari pertolongan. Setiap kami mendapat prognosa yang tidak kami suka, kami terus mencari opini lain. Orang tua mana yang senang mendengar anaknya tidak akan "membaik"? Bagi kami yang memiliki latar belakang psikologi, politik, dan riset, tidak sulit untuk membiarkan imajinasi liar kami menawarkan kritik dan pembenaran. Tapi penolakan seperti ini adalah proses yang normal. Yang penting kita tidak berlarut-larut dan menunda terapi.
Darimana kita bisa tahu bahwa diagnosa sudah tepat? Salah satunya dari hasil terapinya. Kami sudah beberapa kali mengubah regimen terapi karena hasil evaluasi menunjukkan minim perubahan. Kami selalu berusaha berpegangan pada diagnosa yang paling masuk akal dan sesuai dengan keseharian. Jujur, kami juga masih melalui proses denial. Karena itu, yang penting adalah terus terbuka.

Comments