top of page
Search

Istilah Disabilitas dan Kebutuhan Khusus

  • Writer: Keluarga Atipikal
    Keluarga Atipikal
  • Dec 17, 2019
  • 3 min read

Apa yang pertama kali terpikirkan ketika mendengar kata "Anak Berkebutuhan Khusus" atau "ABK"? Atau anak yang punya masalah mental? Susah diatur? Autis? Apakah terbayang anak di kursi roda?


Ini salah satu refleksi pengalaman kami dalam mengunjungi Museum Geologi Bandung beberapa bulan yang lalu. Museum ini baru saja dicanangkan sebagai 'museum ramah disabilitas'. Caranya antara lain dengan menata ulang ruang pamer, menambah lift dan ramp untuk kursi roda, melatih staf bahasa isyarat, hingga menggratiskan tiket masuk.

Anggapan kami selama ini adalah anak berkursi roda bisa digolongkan penyandang disabilitas dan ABK. Sementara anak kami ABK saja, bukan penyandang disabilitas. Kedua anak kami tidak 'tampak' seperti penyandang disabilitas karena tidak kurang alat gerak, masih bisa melihat dan mendengar. Ternyata itu tidak sepenuhnya benar dan kami sekeluarga dapat fasilitas tiket gratis.

Disabilitas adalah istilah yang sangat luas. Pemerintah kita sudah punya undang-undang tentang penyandang disabilitas (UU no 8 tahun 2016). Dalam UU ini, penyandang disabilitas ada 4 macam: disabilitas fisik, sensorik, intelektual dan mental. Disabilitas juga mencakup mereka yang memiliki keterbatasan yang tidak kasat mata (invisible disability). Bahkan, mereka yang memiliki depresi, bipolar, dan gangguan kepribadian juga termasuk menurut undang-undang ini. Dan ini termasuk mereka dengan autisme dan hiperaktif.


Meski senang karena negara sudah menjamin hak-hak bagi ABK dan penyandang disabilitas, ada beberapa hal yang mengganjal dalam menggunakan istilah-istilah ini. Sementara kami akan pakai inisial ABK - tetapi tidak perlu dipanjangkan.

Setelah bongkar istilah-istilah yang ada di undang-undang. Temuan kami yang paling menarik adalah istilah "anak berkebutuhan khusus" BUKAN dari undang-undang. Tidak ada ABK dalam UU disabilitas, UU kesehatan jiwa, dan UU sistem pendidikan nasional (Sisdiknas). Tiga undang-undang ini punya sebutan yang berbeda-beda.


Menurut undang-undang, mereka yang ABK adalah yang mentalnya 'terbatas', 'bermasalah', memiliki 'gangguan', dan memiliki 'kelainan'. Kalau didengar memang tidak nyaman. Memang ini semua ada benarnya: ABK kami memiliki beberapa karakteristik yang membatasi. Setidaknya, undang-undang sudah tidak menggunakan istilah 'cacat' lagi. (UU penyandang cacat sudah dicabut).


Di Museum Geologi, kami bertemu dengan ABK yang hapal semua nama batu-batu di ruang pameran berikut klasifikasi serta berbagai informasi detilnya. Kemungkinan ia tergolong spektrum autisme. Terlepas dari keterbatasan dan masalahnya, anak ini memiliki kemampuan lebih. Bagi beberapa orang tua, istilah "ABK" rasanya lebih cocok daripada penyandang disabilitas.


Bahkan ada upaya untuk mengganti 'berkebutuhan khusus' dengan 'berkemampuan khusus', atau 'gifted' dan 'special'. Mereka beralasan ABK bisa masuk kuliah lebih dini, berjiwa seni, terampil pada satu bidang spesifik, dst. Tapi kami rasa itu adalah contoh anekdotal. Banyak juga ABK yang tidak sejenius itu. Malah labelnya menjadi beban.

Kata special mungkin maksudnya memberikan kesan 'berbeda dari yang lain' atau memiliki kebutuhan yang berbeda. Tapi bukankah setiap anak memiliki kebutuhan yang berbeda? Setiap anak itu special, kan?


Persoalannya, otak reptil kita punya kecenderungan tribalistik. Yaitu berkelompok dengan yang memiliki karakter yang mirip, dan alergi pada sesuatu yang berbeda dan lain. Sayangnya, UU Sisdiknas kita masih merujuk ABK menggunakan istilah kelainan mental. 'Kelainan' sudah terlanjur bermakna buruk di dunia medis, misalnya 'kelainan janin' atau 'kelahiran abnormal'.


Salah satu kata yang mulai banyak dipakai adalah 'atipikal'. Ini merupakan lawan dari 'neurotipikal' atau NT. Tetapi kami juga kurang sreg karena 'a-tipikal' artinya 'tidak sama tipe' (susunan syarafnya). Awalan 'a-' dan variasinya ini digunakan untuk kata seperti 'asusila', 'abnormal', 'ateis' yang semuanya kurang diterima dengan baik di masyarakat. Untuk istilah 'disabilitas', hal yang sama berlaku. Coba cek kata dengan awalan 'dis-' seperti 'diskualifikasi', 'disonansi', 'dislokasi' dsb.

Istilah-istilah ini berhubungan dengan penerimaan kita. Kita perlu sesuatu yang bermakna baik. Di mana tidak memiliki konotasi yang buruk dan mematikan kesempatan ABK. Tetapi tidak juga terlalu positif sehingga kita terbuai. Mungkin suatu saat akan ada istilah baru yang netral dan nyaman ABK, orang tua dan masyarakat umum. Akan lebih baik kalau istilah itu pertama kali diutarakan oleh ABK sendiri.

 
 
 

Comentários

Não foi possível carregar comentários
Parece que houve um problema técnico. Tente reconectar ou atualizar a página.
Post: Blog2_Post

Subscribe Form

Thanks for submitting!

©2019 by Keluarga Atipikal. Proudly created with Wix.com

bottom of page